NAMA :
APRILIA RAHAYU
NPM :
21212016
KELAS :
2EB24
BAB 4 HUKUM PERIKATAN
1.
PENGERTIAN
Perikatan dalam bahasa Belanda disebut “ver
bintenis”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di
Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti ; hal yang mengikat orang yang satu
terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat
berupa perbuatan, misalnya jual beli barang. Dapat berupa peristiwa, misalnya
lahirnya seorang bayi, meninggalnya seorang. Dapat berupa keadaan, misalnya;
letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang bergandengan atau letak
rumah yang bersusun (rusun). Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam
kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat
sendiri diakui dan diberi ‘akibat hukum’. Dengan demikian, perikatan yang
terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum.
Jika dirumuskan, perikatan adalah adalah suatu
hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana
pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat
hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan
perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam
bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum
keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam
bidang hukum pribadi(pers onal law).
Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata,
pengertian perikatan adalah suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara
dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain
berkewajiban atas sesuatu.
Beberapa sarjana juga telah memberikan pengertian mengenai perikatan. Pitlo memberikan pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.
Beberapa sarjana juga telah memberikan pengertian mengenai perikatan. Pitlo memberikan pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.
Pengertian perikatan menurut Hofmann adalah
suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum sehubungan
dengan itu seorang atau beberapa orang daripadanya (debitur atau pada debitur)
mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap
pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu.
Istilah perikatan sudah tepat sekali untuk melukiskan suatu pengertian yang
sama yang dimaksudkan verbintenis dalam bahasa Belanda yaitu suatu hubungan
hukum antara dua pihak yang isinya adalah hak an kewajiban untuk memenuhi
tuntutan tersebut.
Dalam beberapa pengertian yang telah dijabarkan di atas, keseluruhan
pengertian tersebut menandakan bahwa pengertian perikatan yang dimaksud adalah
suatu pengertian yang abstrak, yaitu suatu hal yang tidak dapat dilihat tetapi
hanya dapat dibayangkan dalam pikiran kita. Untuk mengkonkretkan pengertian
perikatan yang abstrak maka perlu adanya suatu perjanjian. Oleh karena itu,
hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah demikian, bahwa perikatan itu
dilahirkan dari suatu perjanjian.
Di dalam hukum perikatan, terdapat sistem yang
terbuka, dan yang dimaksud dengan system terbuka adalah setiap orang dapat
mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan
bagaimanapun, baik itu yang diatur dengan undang-undang atau tidak,inilah yang
disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harus
halal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam
Undang-undang.
Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat
sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk
berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak
melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk
tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah
disepakati dalam perjanjian.
2.
DASAR HUKUM PERIKATAN
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUHP perdata terdapat tiga sumber adalah
sebagai berikut:
1.
Perikatan
yang timbul dari persetujuan (perjanjian)
Definisi perjanjian secara epistimologi adalah arrobt(u)atau perikatan, dan
secara etimologi; kesepakatan kedua belah pihak atau lebih untuk
melakukansesuatu hal yang telah disepakati. Dan syarat syahnya perjanjian
harus adanya kesepakatan antara kedua belah pihak, jadi di dalam isi
perjanjian, kedua belah pihak harus saling mengetahui maksud dari
perjanjian tersebut, dan tidak boleh hanya menguntungkan satu pihak saja. Dan
syarat yang lainnya, adanya obyek yang halal, yang tidak melanggar undang-undang
dan norma-norma kehidupan di masyarakat. Dan sumber tidak adanya perjanjian
dapat dibagi menjadi; pertanggung jawaban yang timbul karena kelalaian,
memperkaya diri tanpa alasan, dan undang-undang.
2.
Perikatan
yang timbul undang-undang.
Perikatan yang berasal dari undang-undang dibagi
lagi menjadi undang-undang saja dan undang-undang dan perbuatan manusia. Hal
ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata :”Perikatan yang dilahirkan dari
undang-undang, timbul dari undang-undang saja (uit de wet allen) atau dari
undang-undang sebagai akibat perbuatan orang” (uit wet ten gevolge van’s mensen
toedoen).
3.
AZAS-AZAS DALAM HUKUM PERIKATAN
Asas-asas dalam hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni
menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
a) Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal
1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat
adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya.
b) Asas konsensualisme Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir
pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang
pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas
konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah
- Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri Kata sepakat antara
para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian
harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang
akan diadakan tersebut.
- Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian Cakap untuk membuat suatu perjanjian,
artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia
21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
- Mengenai Suatu Hal Tertentu Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang
akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau
keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak,
sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
- Suatu sebab yang Halal Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu
harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang,
kesusilaan, atau ketertiban umum.
4.
WANPRESTASI DAN
AKIBAT-AKIBATNYA
Wansprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa
yang diperjanjikan.
Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
- Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
- Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang
dijanjikan;
- Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
- Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Akibat-akibat Wansprestasi
Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni:
Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni:
-
Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi)
Ganti rugi sering diperinci meliputi tinga
unsure, yakni
a. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah
dikeluarkan oleh salah satu pihak;
b. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang
diakibat oleh kelalaian si debitor;
c. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah
dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
- Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.
- Peralihan Risiko
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.
5. HAPUSNYA PERIKATAN
Hapusnya 1381 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
menyebutkan 10 cara hapusnya suatu perikatan. Cara-cara tersebut, yaitu:
1. Pembayaran
Pembayaran
dimaksudkan setiap pemenuhan perjanjian secara suka rela. Dalam arrti yang
sangat luas, tidak saja pihak pembeli membayar uang harga pembelian, tetapi
pihak penjualpun membayar jika ia menyerahkan barang yang dijualnya.
Pembayaran
harus dilakukan kepada pihak kreditur atau kepada pihak yang dikuasakan olehnya
atau juga kepada seorang yang dikuasakan hakim atau oleh undang-undang untuk
menerima pembayaran bagi pihak kreditur.
2.
Penawaran Pembayaran Tunai
diikuti dengan Penyimpanan Penitipan
Ini adalah
suatu cara pembayaran yang harus dilakukan apabila pihak kreditur menolak
pembayaran. Caranya sebagai berikut, barang atau uang yang akan dibayarkan itu
ditawarkan secara resmi oleh seorang notaries atau seorang juru sita
pengadilan.
Setelah
penawaran pembayaran itu disahkan maka barang atau uang yang akan dibayarkan
itu, disimpankan atau dititipkan kepada panitera Pengadilan Negeri dengan
demikian hapuslah hutang-piutang itu. Barang atau uang tersebut berada dalam
simpanan di kepaniteraan Pengadilan Negeri atas tanggungan atau resiko si
berpiutang. Si berhutang sudah bebas dari hutangnya. Segala biaya yang
dikeluarkan untuk menyelenggarakan penawaran pembayaran tunai dan penyimpanan,
harus dipikul oleh si berhutang.
3. Pembaharuan Hutang atau Novasi
Novasi adalah suatu persetujuan yang menyebabkan hapusnya sutau perikatan
dan pada saat yang bersamaan timbul perikatan lainnya yang ditempatkan sebagai
pengganti perikatan semula.
Menurut pasal 1431 kitab undang-undang hukum perdata ada # macam jalan untuk
melaksanakan suatu pembaharuan hutang, yaitu:
a.
Novasi Obyektif
Apabila seorang yang berhutang
membuat suatu perikatan hutang baru guna orangbyang akan menghutangkan
kepadanya, yang menggantikan hutang yang lama yang dihapuskan karenanya.
b. Novasi Subyektif Pasif
Apabila
seorang berhutang baru ditunjukan untuk menggantikan orang berhutang lama, yang
oleh si berpiutang dibebaskan dari perikatannya.
c.
Novasi Subyektif Aktif
Apabila
sebagai akibt dari suatu perjanjian baru seorang kreditur bru ditunjuk untuk menggantikan kreditur yang lama, terhadap siapa si berhutang dibebaskan
dari perikatannya.
4. Perjumpaan Hutang atau Kompensasi
Adalah suatu cara penghapusan hutang dengan jalan memperjumpakan atau
memperhitungkan hutang-piutang secara timbale balik antara kreditur dan
debitur. Jika dua orang saling berhutang satu sama lain maka terjadilah antara
mereka satu perjumpaan dengan mana antara kedua orang tersebut dihapuskan,
demikianlah yang diterangkan oleh pasal 1424 Kitab Undang-undang Hukum
Peerdata.
Misalnya A berhutang sebesar Rp. 1.000.000,- dari B dan sebaliknya B
berhutang Rp. 600.000,- kepada A. Kedua utang tersebut dikompensasikan untuk
Rp. 600.000,- Sehingga A masih mempunyai utang Rp. 400.000,- kepada B.Untuk
terjadinya kompensasi undang-undang menentukan oleh Pasal 1427KUH Perdata,
yaitu utang tersebut :
a. Kedua-duanya berpokok sejumlah uang atau.
b. Berpokok sejumlah barang yang dapat dihabiskan. Yang dimaksud dengan barang
yang dapat dihabiskan ialah barang yang dapat diganti.
c. Kedua-keduanya dapat ditetapkan dan dapat ditagih seketika.
5. Percampuran Hutang
Apabila kedudukan sebagai pihak kreditur dan pihak debitur berkumpul pada
satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu percampuran hutang dengan mana
hutang piutang itu dihapuskan.
Percampuran hutang yang terjadi pada pihak debitur utama berlaku juga untuk
keuntungan penanggung hutangnya sebaliknya percampuran yang terjadi pada
seorang penanggung hutang tidak sekali-kali mengakibatkan hapusnya hutang
pokok.
6. Pembebasan Hutang
Undang-undang tidak memberikan definisi tentang pembebasan utang. Secara
sederhana pembebasan utang adalah perbuatan hukum dimana dengan itu kreditur
melepaskan haknya untuk menagih piutangnya dari debitur. Pembebasan utang tidak
mempunyai bentuk tertentu. Dapat saja diadakan secara lisan. Untuk terjadinya
pembebasan utang adalah mutlak, bahwa pernyataan kreditur tentang pembebasan
tersebut ditujukan kepada debitur. Pembebasan utag dapat terjadi dengan
persetujuan atau Cuma- Cuma.
Menurut pasal 1439 KUH Perdata maka pembebasan utang itu tidak boleh
dipersangkakan tetapi harus dibuktikan. Misalnya pengembalian surat piutang
asli secara sukarela oleh kreditur merupakan bukti tentang pembebasan utangnya.
Dengan pembebasan utang maka perikatan menjadi hapus. Jika pembebasan utang
dilakukan oleh seorang yang tidak cakap untuk membuat perikatan, atau karena
ada paksaan, kekeliruan atau penipuan, maka dapat dituntut pembatalan. Pasal
1442 menentukan : (1) pembebasan utang yang diberikan kepada debitur utama,
membebaskan para penanggung utang, (2) pembebasan utang yang diberikan kepada
penanggung utang, tidak membebaskan debitur utama, (3) pembebasan yang
diberikan kepada salah seorang penanggung utang, tidak membebaskan penanggung
lainnya.
7. Musnahnya Barang yang Terhutang
Jika barang tertentu yang menjadi obyek dari perjanjian musnah, tak lagi
dapat diperdagangkan, ataun hilang sedemikian hingga sama sekali tak diketahui
apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya asal barang tadi musnah
atau hilang diluar kesalahan si berhutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya.
Bahkan juga meskipun debitur itu lalai menyerahkan barang itu, ia pun akan
bebas dari perikatan apabila ia dapat membuktikan bahwa hapusnya barang itu
disebabkan oleh suatu kejadian diluar kekuasaannya dan bahwa barang tersebut
juga akan menemui nasib yang sama meskipun sudah berada ditangan kreditur.
8. Pembatalan
Bidang kebatalan ini dapat dibagi dalam dua hal pokok, yaitu : batal demi
hukum dan dapat dibatalkan.
Disebut batal demi hukum karena kebatalannya terjadi berdasarkan
undang-undang. Misalnya persetujuan dengan causa tidak halal atau persetujuan
jual beli atau hibah antara suami istri adalh batal demi hukum. Batal demi
hukum berakibat bahwa perbuatan hukum yang bersangkutan oleh hukum dianggap
tidak pernah terjadi. Contoh : A menghadiahkan rumah kepada B dengan akta
dibawah tangan, maka B tidak menjadi pemilik, karena perbuatan hukum tersebut
adalah batal demi hukum. Dapat dibatalkan, baru mempunyai akibat setelah ada
putusan hakim yang membatalkan perbuatan tersebut. Sebelu ada putusan,
perbuatan hukum yang bersangkutan tetap berlaku. Contoh : A seorang tidak cakap
untuk membuat perikatan telah menjual dan menyerahkan rumahnya kepada B dan
kerenanya B menjadi pemilik. Akan tetapi kedudukan B belumlah pasti karena wali
dari A atau A sendiri setelah cukup umur dapat mengajukan kepada hakim agar
jual beli dan penyerahannya dibatalkan. Undang-undang menentukan bahwa perbuata
hukum adalah batal demi hukum jika terjadi pelanggaran terhadap syarat yang
menyangkut bentuk perbuatan hukum, ketertiban umum atau kesusilaan. Jadi pada
umumnya adalah untuk melindungi ketertiban masyarakat. Sedangkan perbuatan
hukum dapat dibatalkan, jika undang-undang ingin melindungi seseorang terhadap
dirinya sendiri.
9. Berlakunya Suatu Syarat Batal
Perikatan bersyarat itu adalah suatu perikatan yang nasibnya digantungkan
pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan masih belum tentu akan terjadi,
baik secara menangguhkan lahirnya perikatan hingga terjadinya peristiwa tadi,
atau secara membatalkan perikatan menurut terjadi atau tidak terjadinya
peristiwa tersebut.
Dalam hal yang pertama, perikatan dilahirkan hanya apabila peristiwa yang
termasuk itu terjadi. Dalam hal yang kedua suatu perikatan yang sudah
dilahirkan justru akan berakhir dibatalkan apabila peristiwa yang termasuk itu
terjadi. Perikatan semacam yang terakhir itu dinamakan suatu perikatan dengan
suatu syarat batal.
10. Lewatnya waktu
Menurut pasal 1926 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang dinamakan “lewat
waktu” adalah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari
suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat
yang ditentukan oleh undang-undang.
Dari ketentuan Pasal tersebut diatas dapat diketehui ada dua macam lampau
waktu, yaitu :
1. Lampau waktu untuk memperolah hak milik atas suatu barang, disebut
”acquisitive prescription”;
2. Lampau waktu untuk dibebaskan dari suatu perikatan atau dibebaskan dari
tuntutan, disebut ”extinctive prescription”; Istilah ”lampau waktu” adalah
terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa belanda ”verjaring”. Ada juga
terjemaha lain yaitu ”daluwarsa”. Kedua istilah terjemahan tersebut dapat
dipakai, hanya saja istilah daluwarsa lebih singkat dan praktis.