Kamis, 27 Maret 2014

TUGAS 4 ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI

NAMA  : APRILIA RAHAYU
NPM     : 21212016
KELAS : 2EB24
BAB 4 HUKUM PERIKATAN

1.      PENGERTIAN
Perikatan dalam bahasa Belanda disebut “ver bintenis”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti ; hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang. Dapat berupa peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi, meninggalnya seorang. Dapat berupa keadaan, misalnya; letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang bergandengan atau letak rumah yang bersusun (rusun). Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi ‘akibat hukum’. Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum.
Jika dirumuskan, perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi(pers onal law).
Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Beberapa sarjana juga telah memberikan pengertian mengenai perikatan. Pitlo memberikan pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.
Pengertian perikatan menurut Hofmann adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang daripadanya (debitur atau pada debitur) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu  terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu.
Istilah perikatan sudah tepat sekali untuk melukiskan suatu pengertian yang sama yang dimaksudkan verbintenis dalam bahasa Belanda yaitu suatu hubungan hukum antara dua pihak yang isinya adalah hak an kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.
Dalam beberapa pengertian yang telah dijabarkan di atas, keseluruhan pengertian tersebut menandakan bahwa pengertian perikatan yang dimaksud adalah suatu pengertian yang abstrak, yaitu suatu hal yang tidak dapat dilihat tetapi hanya dapat dibayangkan dalam pikiran kita. Untuk mengkonkretkan pengertian perikatan yang abstrak maka perlu adanya suatu perjanjian. Oleh karena itu, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah demikian, bahwa perikatan itu dilahirkan dari suatu perjanjian.
Di dalam hukum perikatan, terdapat sistem yang terbuka, dan yang dimaksud dengan system terbuka adalah setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimanapun, baik itu yang diatur dengan undang-undang atau tidak,inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harus halal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang.
Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian.

2.      DASAR HUKUM PERIKATAN
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUHP perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut:
1.       Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian)
Definisi perjanjian secara epistimologi adalah arrobt(u)atau perikatan, dan secara etimologi; kesepakatan kedua belah pihak atau lebih untuk melakukansesuatu hal yang telah disepakati. Dan syarat syahnya perjanjian harus adanya kesepakatan antara kedua belah pihak, jadi di dalam isi perjanjian, kedua belah pihak harus saling mengetahui maksud dari perjanjian tersebut, dan tidak boleh hanya menguntungkan satu pihak saja. Dan syarat yang lainnya, adanya obyek yang halal, yang tidak melanggar undang-undang dan norma-norma kehidupan di masyarakat. Dan sumber tidak adanya perjanjian dapat dibagi menjadi; pertanggung jawaban yang timbul karena kelalaian, memperkaya diri tanpa alasan, dan undang-undang.

2.       Perikatan yang timbul undang-undang.
Perikatan yang berasal dari undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang saja dan undang-undang dan perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata :”Perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari undang-undang saja (uit de wet allen) atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang” (uit wet ten gevolge van’s mensen toedoen).

3.      AZAS-AZAS DALAM HUKUM PERIKATAN
Asas-asas dalam hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
a)      Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
b)      Asas konsensualisme Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah
-          Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
-          Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
-          Mengenai Suatu Hal Tertentu Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
-          Suatu sebab yang Halal Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.

4.      WANPRESTASI DAN AKIBAT-AKIBATNYA
Wansprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan.
Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
-          Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
-          Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
-          Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
-          Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Akibat-akibat Wansprestasi
Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni:
-          Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi)
Ganti rugi sering diperinci meliputi tinga unsure, yakni
a.       Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak;
b.      Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si debitor;
c.       Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.

-          Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.

-           Peralihan Risiko
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.

5. HAPUSNYA PERIKATAN
Hapusnya 1381 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan 10 cara hapusnya suatu perikatan. Cara-cara tersebut, yaitu:
1.      Pembayaran
Pembayaran dimaksudkan setiap pemenuhan perjanjian secara suka rela. Dalam arrti yang sangat luas, tidak saja pihak pembeli membayar uang harga pembelian, tetapi pihak penjualpun membayar jika ia menyerahkan barang yang dijualnya.
Pembayaran harus dilakukan kepada pihak kreditur atau kepada pihak yang dikuasakan olehnya atau juga kepada seorang yang dikuasakan hakim atau oleh undang-undang untuk menerima pembayaran bagi pihak kreditur.

2.      Penawaran Pembayaran Tunai diikuti dengan Penyimpanan Penitipan
Ini adalah suatu cara pembayaran yang harus dilakukan apabila pihak kreditur menolak pembayaran. Caranya sebagai berikut, barang atau uang yang akan dibayarkan itu ditawarkan secara resmi oleh seorang notaries atau seorang juru sita pengadilan.
Setelah penawaran pembayaran itu disahkan maka barang atau uang yang akan dibayarkan itu, disimpankan atau dititipkan kepada panitera Pengadilan Negeri dengan demikian hapuslah hutang-piutang itu. Barang atau uang tersebut berada dalam simpanan di kepaniteraan Pengadilan Negeri atas tanggungan atau resiko si berpiutang. Si berhutang sudah bebas dari hutangnya. Segala biaya yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan penawaran pembayaran tunai dan penyimpanan, harus dipikul oleh si berhutang.

3.      Pembaharuan Hutang atau Novasi
Novasi adalah suatu persetujuan yang menyebabkan hapusnya sutau perikatan dan pada saat yang bersamaan timbul perikatan lainnya yang ditempatkan sebagai pengganti perikatan semula.
Menurut pasal 1431 kitab undang-undang hukum perdata ada # macam jalan untuk melaksanakan suatu pembaharuan hutang, yaitu:
a.       Novasi Obyektif
Apabila seorang yang berhutang membuat suatu perikatan hutang baru guna orangbyang akan menghutangkan kepadanya, yang menggantikan hutang yang lama yang dihapuskan karenanya.

b.      Novasi Subyektif Pasif
Apabila seorang berhutang baru ditunjukan untuk menggantikan orang berhutang lama, yang oleh si berpiutang dibebaskan dari perikatannya.

c.       Novasi Subyektif Aktif
Apabila sebagai akibt dari suatu perjanjian baru seorang kreditur bru ditunjuk untuk menggantikan kreditur yang lama, terhadap siapa si berhutang dibebaskan dari perikatannya.

4.      Perjumpaan Hutang atau Kompensasi
Adalah suatu cara penghapusan hutang dengan jalan memperjumpakan atau memperhitungkan hutang-piutang secara timbale balik antara kreditur dan debitur. Jika dua orang saling berhutang satu sama lain maka terjadilah antara mereka satu perjumpaan dengan mana antara kedua orang tersebut dihapuskan, demikianlah yang diterangkan oleh pasal 1424 Kitab Undang-undang Hukum Peerdata.

Misalnya A berhutang sebesar Rp. 1.000.000,- dari B dan sebaliknya B berhutang Rp. 600.000,- kepada A. Kedua utang tersebut dikompensasikan untuk Rp. 600.000,- Sehingga A masih mempunyai utang Rp. 400.000,- kepada B.Untuk terjadinya kompensasi undang-undang menentukan oleh Pasal 1427KUH Perdata, yaitu utang tersebut :

a.       Kedua-duanya berpokok sejumlah uang atau.
b.      Berpokok sejumlah barang yang dapat dihabiskan. Yang dimaksud dengan barang yang dapat dihabiskan ialah barang yang dapat diganti.
c.       Kedua-keduanya dapat ditetapkan dan dapat ditagih seketika.

5.      Percampuran Hutang
Apabila kedudukan sebagai pihak kreditur dan pihak debitur berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu percampuran hutang dengan mana hutang piutang itu dihapuskan.
Percampuran hutang yang terjadi pada pihak debitur utama berlaku juga untuk keuntungan penanggung hutangnya sebaliknya percampuran yang terjadi pada seorang penanggung hutang tidak sekali-kali mengakibatkan hapusnya hutang pokok.

6.      Pembebasan Hutang
Undang-undang tidak memberikan definisi tentang pembebasan utang. Secara sederhana pembebasan utang adalah perbuatan hukum dimana dengan itu kreditur melepaskan haknya untuk menagih piutangnya dari debitur. Pembebasan utang tidak mempunyai bentuk tertentu. Dapat saja diadakan secara lisan. Untuk terjadinya pembebasan utang adalah mutlak, bahwa pernyataan kreditur tentang pembebasan tersebut ditujukan kepada debitur. Pembebasan utag dapat terjadi dengan persetujuan atau Cuma- Cuma.

Menurut pasal 1439 KUH Perdata maka pembebasan utang itu tidak boleh dipersangkakan tetapi harus dibuktikan. Misalnya pengembalian surat piutang asli secara sukarela oleh kreditur merupakan bukti tentang pembebasan utangnya.
Dengan pembebasan utang maka perikatan menjadi hapus. Jika pembebasan utang dilakukan oleh seorang yang tidak cakap untuk membuat perikatan, atau karena ada paksaan, kekeliruan atau penipuan, maka dapat dituntut pembatalan. Pasal 1442 menentukan : (1) pembebasan utang yang diberikan kepada debitur utama, membebaskan para penanggung utang, (2) pembebasan utang yang diberikan kepada penanggung utang, tidak membebaskan debitur utama, (3) pembebasan yang diberikan kepada salah seorang penanggung utang, tidak membebaskan penanggung lainnya.

7.      Musnahnya Barang yang Terhutang
Jika barang tertentu yang menjadi obyek dari perjanjian musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, ataun hilang sedemikian hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya asal barang tadi musnah atau hilang diluar kesalahan si berhutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Bahkan juga meskipun debitur itu lalai menyerahkan barang itu, ia pun akan bebas dari perikatan apabila ia dapat membuktikan bahwa hapusnya barang itu disebabkan oleh suatu kejadian diluar kekuasaannya dan bahwa barang tersebut juga akan menemui nasib yang sama meskipun sudah berada ditangan kreditur.

8.      Pembatalan
Bidang kebatalan ini dapat dibagi dalam dua hal pokok, yaitu : batal demi hukum dan dapat dibatalkan.
Disebut batal demi hukum karena kebatalannya terjadi berdasarkan undang-undang. Misalnya persetujuan dengan causa tidak halal atau persetujuan jual beli atau hibah antara suami istri adalh batal demi hukum. Batal demi hukum berakibat bahwa perbuatan hukum yang bersangkutan oleh hukum dianggap tidak pernah terjadi. Contoh : A menghadiahkan rumah kepada B dengan akta dibawah tangan, maka B tidak menjadi pemilik, karena perbuatan hukum tersebut adalah batal demi hukum. Dapat dibatalkan, baru mempunyai akibat setelah ada putusan hakim yang membatalkan perbuatan tersebut. Sebelu ada putusan, perbuatan hukum yang bersangkutan tetap berlaku. Contoh : A seorang tidak cakap untuk membuat perikatan telah menjual dan menyerahkan rumahnya kepada B dan kerenanya B menjadi pemilik. Akan tetapi kedudukan B belumlah pasti karena wali dari A atau A sendiri setelah cukup umur dapat mengajukan kepada hakim agar jual beli dan penyerahannya dibatalkan. Undang-undang menentukan bahwa perbuata hukum adalah batal demi hukum jika terjadi pelanggaran terhadap syarat yang menyangkut bentuk perbuatan hukum, ketertiban umum atau kesusilaan. Jadi pada umumnya adalah untuk melindungi ketertiban masyarakat. Sedangkan perbuatan hukum dapat dibatalkan, jika undang-undang ingin melindungi seseorang terhadap dirinya sendiri.

9.      Berlakunya Suatu Syarat Batal
Perikatan bersyarat itu adalah suatu perikatan yang nasibnya digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan masih belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan lahirnya perikatan hingga terjadinya peristiwa tadi, atau secara membatalkan perikatan menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut.
Dalam hal yang pertama, perikatan dilahirkan hanya apabila peristiwa yang termasuk itu terjadi. Dalam hal yang kedua suatu perikatan yang sudah dilahirkan justru akan berakhir dibatalkan apabila peristiwa yang termasuk itu terjadi. Perikatan semacam yang terakhir itu dinamakan suatu perikatan dengan suatu syarat batal.

10.  Lewatnya waktu
Menurut pasal 1926 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang dinamakan “lewat waktu” adalah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.
Dari ketentuan Pasal tersebut diatas dapat diketehui ada dua macam lampau waktu, yaitu :
1.      Lampau waktu untuk memperolah hak milik atas suatu barang, disebut ”acquisitive prescription”;
2.      Lampau waktu untuk dibebaskan dari suatu perikatan atau dibebaskan dari tuntutan, disebut ”extinctive prescription”; Istilah ”lampau waktu” adalah terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa belanda ”verjaring”. Ada juga terjemaha lain yaitu ”daluwarsa”. Kedua istilah terjemahan tersebut dapat dipakai, hanya saja istilah daluwarsa lebih singkat dan praktis.


http://www.wikipedia.com

TUGAS 3 ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI

NAMA            :APRILIA RAHAYU
NPM                : 21212016
KELAS           : 2EB24

BAB 3 HUKUM PERDATA
Hukum Perdata adalah ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan antara individu-individu dalam masyarakat. Dalam tradisi hukum di daratanEropa (civil law) dikenal pembagian hukum menjadi dua yakni hukum publik dan hukum privat atau hukum perdata. Dalam sistem Anglo Sakson (common law) tidak dikenal pembagian semacam ini. Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie).
1.      Hukum perdata Indonesia
Salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum (misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.
Ada beberapa sistem hukum yang berlaku di dunia dan perbedaan sistem hukum tersebut juga mempengaruhi bidang hukum perdata, antara lain sistem hukum Anglo-Saxon (yaitu sistem hukum yang berlaku di Kerajaan Inggris Raya dan negara-negara persemakmuran atau negara-negara yang terpengaruh oleh Inggris, misalnya Amerika Serikat), sistem hukum Eropa kontinental, sistem hukum komunis, sistem hukum Islam dan sistem-sistem hukum lainnya. Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan.
Bahkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (dikenal KUHPer.) yang berlaku di Indonesia tidak lain adalah terjemahan yang kurang tepat dari Burgerlijk Wetboek (atau dikenal dengan BW)yang berlaku di kerajaan Belanda dan diberlakukan di Indonesia (dan wilayah jajahan Belanda) berdasarkan azas konkordansi. Untuk Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda, BW diberlakukan mulai 1859. Hukum perdata Belanda sendiri disadur dari hukum perdata yang berlaku di Perancis dengan beberapa penyesuaian.
Yang dimaksud dengan Hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku bagi seluruh Wilayah di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata barat [Belanda] yang pada awalnya berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan B.W. Sebagaian materi B.W. sudah dicabut berlakunya & sudah diganti dengan Undang-Undang RI misalnya mengenai Perkawinan, Hipotik, Kepailitan, Fidusia sebagai contoh Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974, Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960.

Keadaan Hukum Perdata di Indonesia
      Kondisi Hukum Perdata di Indonesia dapat dikatakan masih bersifat majemuk yaitu masih beraneka. Penyebab dari keaneka ragaman ini ada 2 faktor yaitu:
  1. Faktor Ethnis disebabkan keaneka ragaman Hukum Adat Bangsa Indonesia, karena negara kita Indonesia ini terdiri dari berbagai suku bangsa.
  1. Faktor Hostia Yuridisyang dapat kita lihat, yang pada pasal 163.I.S. yang membagi penduduk Indonesia dalam tiga Golongan, yaitu:
    1. Golongan Eropa dan yang dipersamakan
    2. Golongan Bumi Putera (pribumi / bangsa Indonesia asli) dan yang dipersamakan.
    3. Golongan Timur Asing (bangsa Cina, India, Arab).
 Adapun hukum yang diberlakukan bagi masing-masing golongan yaitu:
  1. Bagi golongan Eropa dan yang dipersamakan berlaku Hukum Perdata dan Hukum Dagang Barat yang diselaraskan dengan Hukum Perdata dan Hukum Dagang di negeri Belanda berdasarkan azas konkordansi.
  2. Bagi golongan Bumi Putera (Indonesia Asli) dan yang dipersamakan berlaku Hukum Adat mereka. Yaitu hukum yang sejak dahulu kala berlaku di kalangan rakyat, dimana sebagian besar Hukum Adat tersebut belum tertulis, tetapi hidup dalam tindakan-tindakan rakyat.
  3. Bagi golongan timur asing (bangsa Cina, India, Arab) berlaku hukum masing-masing, dengan catatan bahwa golongan Bumi Putera dan Timur Asing (Cina, India, Arab) diperbolehkan untuk menundukan diri kepada Hukum Eropa Barat baik secara keseluruhan maupun untuk beberapa macam tindakan hukum tertentu saja.
Disamping itu ada peraturan-peraturan yang secara khusus dibuat untuk bangsa Indonesia seperti: 
-          Ordonansi Perkawinan bangsa Indonesia Kristen (Staatsblad 1933 no7.4).
-           Organisasi tentang Maskapai Andil Indonesia (IMA) Staatsblad 1939 no 570 berhubungan denag no 717). 
Dan ada pula peraturan-peraturan yang berlaku bagi semua golongan warga negara, yaitu:
-          Undang-undang Hak Pengarang (Auteurswet tahun 1912)
-          Peraturan Umum tentang Koperasi (Staatsblad 1933 no 108)
-          Ordonansi Woeker (Staatsblad 1938 no 523)
-          Ordonansi tentang pengangkutan di udara (Staatsblad 1938 no 98).

2.      SEJARAH SINGKAT HUKUM PERDATA
Sejarah membuktikan bahwa hukum perdata yang saat ini berlaku di Indonesia tidak lepas dari sejarah hukum perdata eropa. Di eropa continental berlaku hukum perdata romawi, disamping adanya hukum tertulis dan hukum kebiasaan tertentu.
Pada tahun 1804 atas prakarsa Napoleon terhimpunlah hukum perdata dalam satu kumpulan peraturan yang bernama “ Code Civil de Francis” yang juga dapat disebut “Cod Napoleon”.
Sebagai petunjuk penyusunan Code Civil ini digunakan karangan dari beberapa ahli hukum antara lain Dumoulin, Domat dan Pothis. Disamping itu juga dipergunakan hukum bumi putera lama, hukum jernoia dan hukum Cononiek. Code Napoleon ditetapkan sebagai sumber hukum di belanda setelah bebas dari penjajahan prancis.
Setelah beberapa tahun kemerdekaan, bangsa memikirkan dan mengerjakan kodifikasi dari hukum perdata. Dan tepatnya 5 juli 1830 kodivikasi ini selesai dengan terbentuknya BW (Burgelijk Wetboek) dn WVK (Wetboek Van Koopandle) ini adalah produk nasional-nederland yang isinya berasal dari Code Civil des Prancis dari Code de Commerce.

3.      PENGERTIAN & KEADAAN HUKUM DI INDONESIA

A.      PENGERTIAN HUKUM PERDATA
Hukum perdata adalah hukum yang mengatur hubungan antar perorangan di dalam masyarakat. Hukum perdata dalam arti luas meliputi semua hukum privat materil dan dapat juga dikatakan sebagai lawan dari hukum pidana.
Pengertian hukum privat (hukum perdana materil) adalah hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur hubungan antar perorangan didalam masyarakat dalam kepentingan dari masing-masing orang yang bersangkutan.
Selain ada hukum privat materil, ada juga hukum perdata formil yang lebih dikenal dengan HAP (hukum acara perdata) atau proses perdata yang artinya hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur bagaimana caranya melaksanakan praktek di lingkungan pengadilan perdata.

B.      KEADAAN HUKUM DI INDONESIA
Mengenai keadaan hukum perdata di Indonesia sekarang ini masih bersifat majemuk yaitu masih beraneka ragam. Faktor yang mempengaruhinya antara lain :
1. Faktor etnis
2. Faktor hysteria yuridis yang dapat kita lihat pada pasal 163 I.S yang membagi penduduk Indonesia dalam 3 golongan, yaitu :
a. Golongan eropa
b. Golongan bumi putera (pribumi/bangsa Indonesia asli)
c. Golongan timur asing (bangsa cina, India, arab)

Untuk golongan warga Negara bukan asli yang bukan berasal dari tionghoa atau eropa berlaku sebagian dari BW yaitu hanya bagian-bagian yang mengenai hukum-hukum kekayaan harta benda, jadi tidak mengenai hukum kepribadian dan kekeluargaan maupun yang mengenai hukum warisan.
Pedoman politik bagi pemerintahan hindia belanda terhadap hukum di Indonesia ditulis dalam pasal 131, I.S yang sebelumnya terdapat pada pasal 75 RR (Regeringsreglement) yang pokok-pokonya sebagai berikut :
1.       Hukum perdata dan dagang (begitu pula hukum pidana beserta hukum acara perdata dan hukum acara pidana harus diletakkan dalam kitab undang-undang yaitu di kodifikasi).
2.       Untuk golongan bangsa eropa harus dianut perundang-undangan yang berlaku di negeri belanda (sesuai azas konkordasi).
3.        Untuk golongan bangsa Indonesia dan timur asing jika ternyata kebutuhan kemasyarakatan mereka menghendakinya.
4.        Orang Indonesia asli dan timur asinng, selama mereka belum ditundukkan di bawah suatu peraturan bersama dengan suatu bangsa eropa.
5.       Sebelumnya hukum untuk bangsa Indonesia ditulis dalam undang-undang maka bagi mereka hukum yang berlaku adalah hukum adat.

4.      SISTEMATIKA HUKUM PERDATA DI INDONESIA
Sistematika hukum perdata di Indonesia ada 2 pendapat, yaitu:
a.       Berlaku Undang-undang
-          Buku I             :           Berisi mengenai orang
-          Buku II                       :           Berisi mengenai benda
-          Buku III                      :           Berisi mengenai perikatan
-          Buku IV                      :           Berisi mengenai pembuktian
b.      Ilmu Hukum atau Doktrin
-          Hukum Tentang Diri Seseorang (Pribadi)
Mengatur tentang manusia sebagai subyek hukum, mengatur tentang perihal kecakapan untuk memiliki hak-hak dan kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-hak itu dan selanjutnya tentang hal-hal yang mempengaruhi kecakapan itu.
-          Hukum Kekeluargaan
Mengatur perihal hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan, yaitu:
Perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami dengan istri, hubungan antara orang tua dan anak, perwalian dan curatele.
-          Hukum Kekayaan
Mengatur hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang. Hak mutlak yang memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat dinamakan hak kebendaan. Hak mutlak yang tidak memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat.
·         Hak seorang pengarang atas karangannya
·         Hak seseorang atas suatu pendapat dalam lapangan Ilmu Pengetahuan atau hak pedagang untuk memakai sebuah merk, dinamakan hak mutlak saja.
-          Hak Warisan
Mengatur tentang benda atau kekayaan seseorang jika ia meninggal. Disamping itu hukum warisan mengatur akibat dari hubungan keluarga terhadap harta peninggalan seseorang.


SUMBER :